Friday, September 03, 2010

Ceri dan Biola

             “Panas banget si ni hari, “ gerutuku.
            Hari ini suasana kota Malang memang panas. Mungkin karena efek global warming yang ramai dibicarakan orang saat ini. Ditambah lagi hari ini aku harus pulang jalan kaki seusai pelajaran tambahan di sekolah. Memang jarak antara sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh. Tapi cuaca yang tidak bersahabat hari ini membuat jarak terasa sangatlah jauh.
            Seperti biasanya, aku melewati rumah tua dengan pohon ceri. Rumah ini sangatlah sepi. Aku tak pernah melihat ada sosok penghuni yang tinggal di sana. Enak nih kalau siang-siang gini makan buah ceri, pikirku. Toh selama ini rumah itu kosong. Biarpun aku mengambilnya pasti tak ada yang marah.
            Aku pun semakin yakin dengan rencanaku ketika kulihat beberapa buah ceri merah yang menggoda lidahku. Dengan perlahan, kupetik sebuah ceri yang terlihat berwarna paling merah. Kugigit setengah potongan ceri itu. Rasanya sungguh lezat! Segera kuhabiskan setengah potongan tadi dengan lahap dan mulai memetik lagi beberapa buah ceri merah dengan kecepatan yang membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana.
            Saat aku asik berkutat dengan ceri-ceriku, kurasakan ada seseorang yang tengah mengawasiku dari belakang punggungku. Segera kuputar badanku dan kulihat seorang kakek tua dengan ekspresi menahan geram kepadaku. Aku pun jadi merasa bersalah. Tak berani kupandang kakek yang tengah duduk di kursi roda. Aku pun dihadapkan pada dua pilihan. Kabur atau minta maaf ??
            Setelah mengalami perang batin yang cukup hebat, akhirnya aku memutuskan malaikatku yang menang. Aku memilih untuk minta maaf kepada kakek itu. Dengan perasaan takut, aku membuka pagar rumahnya. Aku berjalan perlahan menuju tempat kakek dengan kursi roda itu.
            “Ehm.. Kenalkan, nama saya Ceri. Saya sangat suka buah ceri loo, kek. Makanya saya dikasih nama Ceri sama orang tua saya. Kalau kakek namanya siapa?” tanyaku sok akrab pada kakek.
            “Nama saya Ojikawa. Panggil saja Kakek Oji.” jawab kakek itu tanpa melepas pandangannya dariku.
            “Ooh, Kakek Oji ya. Senang bertemu dengan kakek! Sebelumnya saya mau minta maaf kek, karena telah memakan buah ceri kakek tanpa izin. Habisnya, melihat buah ceri kakek yang berwarna merah segar itu, membuat saya ingin memakannya. Kakek mau kan memaafkan saya? Saya janji deh nggak akan mengulanginya lagi.” jelasku dengan memasang tampang semelas mungkin.
            Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kakek itu. Sampai akhirnya kakek itu memecah keheningan. “Kamu adalah Vega,” ucap Kakek itu tiba-tiba.
            “Seperti yang telah saya katakan, nama saya Ceri Kek, bukan Vega.”
            “Tetapi …” Kakek Ojikawa tidak melanjutkan perkataannya.
            “Ya sudah Kek, saya pamit pulang ya.” pamitku undur diri.
            “Iya, pulanglah. Ini sudah sore. Tidak baik anak perempuan pulang terlalu sore.”
            “Eh Kek, tadi saya jadi dimaafkan tidak?”
            “Iya, kamu sudah saya maafkan kok.” kata Kakek sambil tersenyum.
            “Terima kasih Kek! Selamat sore,” ucapku sambil melambaikan tangan kepada kakek tanda perpisahan.
            “Sama-sama. Lain kali mampir lagi ya. Kita makan cerinya bersama-sama. Jadi tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti tadi,” kata Kakek sambil mengedipkan sebelah matanya.
            Aku pun berjalan pulang ke rumah sambil tersenyum malu mengingat ucapan kakek tadi. Dengan mata berbinar-binar kubuka pintu rumahku yang memang tidak terkunci itu. Senang rasanya dapat berkenalan dengan orang sebaik Kakek Ojikawa tadi.
***

            Setelah kejadian itu, setiap hari aku selalu mengusahakan untuk mampir ke rumah Kakek Ojiakawa setiap pulang sekolah. Sudah seminggu aku rajin mengunjungi Kakek yang ternyata hanya tinggal dengan seorang pembantu di rumah yang cukup besar itu.
            Hingga pada suatu hari, aku berjalan melewati rumahnya saat akan pulang dari sekolah. Aku bingung melihat ada bendera kuning yang terpasang di dahan pohon ceri yang dulu pernah kupetik buahnya itu. Aku terkejut sekali saat bertanya dan jawaban yang kudapatkan adalah nama Kakek Ojikawa.
            Air mataku pun tak dapat kubendung lagi. Aku pun menangis saat itu juga. Lututku gemetaran. Tak kusangaka Kakek akan pergi secepat itu. Apalagi kami baru kenal selama seminggu. Tiba-tiba, seorang wanita berpakaian serba hitam menghampiriku.
            “Kamu Ceri ya?” sapa wanita itu dengan ramah.
            “Iya. Tante siapa?” tanyaku dengan suara masih menahan tangis.
            “Saya anak dari Kakek Ojikawa. Saya hanya ingin memberikan sesuatu yang dititipkan Ayah saya untuk kamu. Beliau ingin agar kamu memiliki ini.” wanita itu berkata sambil mengulurkan sebuah kotak kayu berbentuk persegi panjang.
            “Apa ini?” tanyaku lagi.
            “Buka saja di rumah. Ini benda berharga beliau. Saya harap kamu dapat menjaga barang ini dengan baik.” pesan wanita itu.
            Aku mengangguk singkat. Kubawa kotak itu sambil berjalan linglung menuju ke rumah. Aku sangat penasaran sekali apa isi dari kotak kayu itu. Aku juga ingin tahu mengapa Kakek meberikan barang berharganya kepadaku, anak kecil yang bisa dibilang baru dikenalnya ini.
            Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan menguncinya. Secara perlahan, kubuka kotak kayu yang ternyata cukup berat ini. Betapa terkejutnya aku ketika sebuah biola menyapu pengeliahatanku. Walaupun aku tidak mengerti apa-apa tentang biola, aku merasa bahwa biola ini mempunyai ciri khas tersendiri.
            Saat aku mengambil perlahan biola itu dari tempatnya, kulihat ada surat yang terjatuh dari bawah biola itu. Kubaca perlahan isi surat itu. Kuresapi setiap kata yang ditulis oleh Almarhum Kakek Ojikawa. Tak terasa air mataku pun mengalir di pipi. Dapat kubayangkan perasaan Kakek Ojikawa saat menulis surat ini. Aku yakin Kakek pasti akan tenang di alam sana. Sampai pada akhir surat itu, air mataku terjatuh tepat pada bagian nama Kakek Ojikawa.

Untuk Ceri, cucuku.
Saat kamu membaca surat ini, Kakek telah pergi meninggalkanmu. 
Maafkan Kakek karena Kakek tidak sempat pamit kepadamu. 
Tetapi di sini, Kakek ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.
Terima kasih karena telah membuat hidup Kakek menjadi berwarna di akhir hidup kakek.
Terima kasih telah bersedia menemani Kakek setiap pulang sekolah.
Walaupun sangat singkat, itu sangat berarti untuk Kakek. 
Terima kasih juga karena kamu telah menjadi cucu Kakek selama ini.
Mungkin kamu sudah lupa, tetapi Kakek ingin memberi tahumu mengapa dulu Kakek sempat memanggilmu Vega.
Vega adalah nama cucu Kakek yang telah meninggal 2 tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. 
Dia meninggal saat perjalanan akan melaksanakan konser tunggalnya. 
Biola itu adalah biola yang akan digunakan Vega untuk melaksanakan konsernya.
Kakek ingin kamu memiliki biola itu karena Kakek ingin kamu meneruskan cita-cita Vega yang tidak sampai terlaksana. 
Kakek harap kamu mau belajar memainkan biola itu. 
Kakek juga berharap suatu saat kamu bisa memainkannya di dekat Kakek.

                                                                                 Salam sayang,


                                                                                Kakek Ojikawa

 ***

Lima tahun kemudian
            Kulangkahkan kakiku dengan mantap di antara deret-deret makam di sana. Sampailah aku di sebuah makam yang mulau rimbun oleh rumput. Saat kutemukan makam yang kucari, aku berjongkok di depan nisan itu.
            Ya, aku sedang mengunjungi Kakek Ojikawa. Aku ingin sekali mewujudkan keinginan terkahirnya itu, mendengarkan permainan biolaku. Kubuka kotak biola dan segera kumainkan sebuah lagu rindu yang kuciptakan sendiri untuk Kakek. Nadanya sangat menyayat hati, membuat siapa saja yang mendengarnya pasti akan bergidik.
            Setelah selesai, aku baru menyadari ternyata pipiku sudah basah oleh air mata. Aku pun berkata dalam hati, Kakek, terima kasih atas segalanya. Kakek yang membuatku meanjadi seperti ini. Aku sudah berhasil menjadi pemain biola ternama. Semua ini berkat Kakek. Aku tidak akan pernah melupakan jasa kakek. Hanya inilah yang bisa kulakukan untuk Kakek. Semoga Kakek bahagia di sana melihat ini.
            Aku pun menanam benih pohon ceri di sebelah makam Kakek. Aku berharap pohon ini akan selalu mengingatkan Kakek akan aku dan begitu pula sebaliknya. Pohon ceri ini akan menjadi kenang-kenangan dariku, Ceri.
***

No comments:

Post a Comment