Hari ini  suasana kota  Malang   memang panas. Mungkin karena  efek global warming yang ramai dibicarakan orang saat ini. Ditambah lagi  hari ini aku harus pulang jalan kaki seusai pelajaran tambahan di  sekolah. Memang jarak antara sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh.  Tapi cuaca yang tidak bersahabat hari ini membuat jarak terasa sangatlah  jauh.
            Seperti biasanya, aku melewati  rumah tua dengan pohon ceri. Rumah ini sangatlah sepi. Aku tak pernah  melihat ada sosok penghuni yang tinggal di sana  . Enak nih kalau siang-siang gini  makan buah ceri, pikirku. Toh selama ini rumah itu kosong. Biarpun aku  mengambilnya pasti tak ada yang marah.
            Aku pun  semakin yakin dengan rencanaku ketika kulihat beberapa buah ceri merah  yang menggoda lidahku. Dengan perlahan, kupetik sebuah ceri yang  terlihat berwarna paling merah. Kugigit setengah potongan ceri itu.  Rasanya sungguh lezat! Segera kuhabiskan setengah potongan tadi dengan  lahap dan mulai memetik lagi beberapa buah ceri merah dengan kecepatan  yang membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana.
             Saat aku asik berkutat dengan ceri-ceriku, kurasakan ada seseorang yang  tengah mengawasiku dari belakang punggungku. Segera kuputar badanku dan  kulihat seorang kakek tua dengan ekspresi menahan geram kepadaku. Aku  pun jadi merasa bersalah. Tak berani kupandang kakek yang tengah duduk  di kursi roda. Aku pun dihadapkan pada dua pilihan. Kabur atau minta  maaf ??
            Setelah mengalami perang batin yang  cukup hebat, akhirnya aku memutuskan malaikatku yang menang. Aku  memilih untuk minta maaf kepada kakek itu. Dengan perasaan takut, aku  membuka pagar rumahnya. Aku berjalan perlahan menuju tempat kakek dengan  kursi roda itu.
            “Ehm.. Kenalkan, nama saya  Ceri. Saya sangat suka buah ceri loo, kek. Makanya saya dikasih nama  Ceri sama orang tua saya. Kalau kakek namanya siapa?” tanyaku sok akrab  pada kakek.
            “Nama saya Ojikawa. Panggil saja  Kakek Oji.” jawab kakek itu tanpa melepas pandangannya dariku.
             “Ooh, Kakek Oji ya. Senang bertemu dengan kakek! Sebelumnya saya mau  minta maaf kek, karena telah memakan buah ceri kakek tanpa izin.  Habisnya, melihat buah ceri kakek yang berwarna merah segar itu, membuat  saya ingin memakannya. Kakek mau kan   memaafkan saya? Saya janji deh  nggak akan mengulanginya lagi.” jelasku dengan memasang tampang semelas  mungkin.
            Tak ada sepatah kata pun yang  keluar dari mulut kakek itu. Sampai akhirnya kakek itu memecah  keheningan. “Kamu adalah Vega,” ucap Kakek itu tiba-tiba.
             “Seperti yang telah saya katakan, nama saya Ceri Kek, bukan Vega.” 
             “Tetapi …” Kakek Ojikawa tidak melanjutkan perkataannya.
             “Ya sudah Kek, saya pamit pulang ya.” pamitku undur diri.
             “Iya, pulanglah. Ini sudah sore. Tidak baik anak perempuan pulang  terlalu sore.”
            “Eh Kek, tadi saya jadi dimaafkan  tidak?”
            “Iya, kamu sudah saya maafkan kok.”  kata Kakek sambil tersenyum.
            “Terima  kasih Kek! Selamat sore,” ucapku sambil melambaikan tangan kepada kakek  tanda perpisahan.
            “Sama-sama. Lain kali mampir  lagi ya. Kita makan cerinya bersama-sama. Jadi tidak perlu  sembunyi-sembunyi seperti tadi,” kata Kakek sambil mengedipkan sebelah  matanya.
            Aku pun berjalan pulang ke rumah  sambil tersenyum malu mengingat ucapan kakek tadi. Dengan mata  berbinar-binar kubuka pintu rumahku yang memang tidak terkunci itu.  Senang rasanya dapat berkenalan dengan orang sebaik Kakek Ojikawa tadi.
***
            Hingga  pada suatu hari, aku  berjalan melewati rumahnya saat akan pulang dari  sekolah. Aku bingung  melihat ada bendera kuning yang terpasang di dahan  pohon ceri yang dulu  pernah kupetik buahnya itu. Aku terkejut sekali  saat bertanya dan  jawaban yang kudapatkan adalah nama Kakek Ojikawa.
              Air mataku pun tak dapat kubendung lagi. Aku pun menangis saat itu   juga. Lututku gemetaran. Tak kusangaka Kakek akan pergi secepat itu.   Apalagi kami baru kenal selama seminggu. Tiba-tiba, seorang wanita   berpakaian serba hitam menghampiriku.
            “Kamu   Ceri ya?” sapa wanita itu dengan ramah.
            “Iya.   Tante siapa?” tanyaku dengan suara masih menahan tangis.
              “Saya anak dari Kakek Ojikawa. Saya hanya ingin memberikan sesuatu  yang  dititipkan Ayah saya untuk kamu. Beliau ingin agar kamu memiliki  ini.”  wanita itu berkata sambil mengulurkan sebuah kotak kayu berbentuk   persegi panjang.
            “Apa ini?” tanyaku lagi.
              “Buka saja di rumah. Ini benda berharga beliau. Saya harap kamu dapat   menjaga barang ini dengan baik.” pesan wanita itu.
              Aku mengangguk singkat. Kubawa kotak itu sambil berjalan linglung   menuju ke rumah. Aku sangat penasaran sekali apa isi dari kotak kayu   itu. Aku juga ingin tahu mengapa Kakek meberikan barang berharganya   kepadaku, anak kecil yang bisa dibilang baru dikenalnya ini.
              Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan menguncinya.   Secara perlahan, kubuka kotak kayu yang ternyata cukup berat ini. Betapa   terkejutnya aku ketika sebuah biola menyapu pengeliahatanku. Walaupun   aku tidak mengerti apa-apa tentang biola, aku merasa bahwa biola ini   mempunyai ciri khas tersendiri.
            Saat aku   mengambil perlahan biola itu dari tempatnya, kulihat ada surat   yang terjatuh   dari bawah biola itu. Kubaca perlahan isi surat   itu. Kuresapi setiap kata yang   ditulis oleh Almarhum Kakek Ojikawa. Tak terasa air mataku pun mengalir   di pipi. Dapat kubayangkan perasaan Kakek Ojikawa saat menulis surat   ini. Aku   yakin Kakek pasti akan tenang di alam sana  . Sampai pada akhir surat   itu, air   mataku terjatuh tepat pada bagian nama Kakek Ojikawa.
Untuk Ceri, cucuku.
Saat kamu membaca   surat ini, Kakek telah pergi meninggalkanmu.  
Maafkan Kakek karena Kakek tidak sempat pamit kepadamu.  
Tetapi di sini, Kakek ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.
Maafkan Kakek karena Kakek tidak sempat pamit kepadamu.
Tetapi di sini, Kakek ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.
Terima   kasih karena telah membuat hidup Kakek menjadi berwarna di akhir    hidup kakek. 
Terima kasih telah   bersedia menemani Kakek setiap pulang sekolah.
Walaupun   sangat singkat, itu sangat berarti untuk Kakek.  
Terima kasih juga karena kamu telah menjadi cucu Kakek selama ini.
Terima kasih juga karena kamu telah menjadi cucu Kakek selama ini.
Mungkin   kamu sudah lupa, tetapi Kakek ingin memberi tahumu mengapa dulu  Kakek   sempat memanggilmu Vega.
Vega  adalah nama  cucu Kakek yang telah meninggal 2 tahun yang lalu   karena  kecelakaan mobil. 
Dia meninggal saat perjalanan akan melaksanakan konser tunggalnya.
Biola itu adalah biola yang akan digunakan Vega untuk melaksanakan konsernya.
Dia meninggal saat perjalanan akan melaksanakan konser tunggalnya.
Biola itu adalah biola yang akan digunakan Vega untuk melaksanakan konsernya.
Kakek   ingin kamu memiliki biola itu karena Kakek ingin kamu meneruskan   cita-cita Vega yang tidak sampai terlaksana. 
Kakek harap kamu mau belajar  memainkan biola itu.  
Kakek juga berharap suatu saat kamu bisa memainkannya di dekat Kakek.
Kakek harap kamu mau belajar
Kakek juga berharap suatu saat kamu bisa memainkannya di dekat Kakek.
                                                                                     Salam sayang,
                                                                                    Kakek Ojikawa
            Kulangkahkan   kakiku dengan mantap di antara deret-deret makam di sana  . Sampailah aku   di sebuah makam yang mulau rimbun oleh rumput. Saat kutemukan makam   yang kucari, aku berjongkok di depan nisan itu.
              Ya, aku sedang mengunjungi Kakek Ojikawa. Aku ingin sekali mewujudkan   keinginan terkahirnya itu, mendengarkan permainan biolaku. Kubuka kotak   biola dan segera kumainkan sebuah lagu rindu yang kuciptakan sendiri   untuk Kakek. Nadanya sangat menyayat hati, membuat siapa saja yang   mendengarnya pasti akan bergidik.
            Setelah   selesai, aku baru menyadari ternyata pipiku sudah basah oleh air mata.   Aku pun berkata dalam hati, Kakek, terima kasih atas segalanya. Kakek   yang membuatku meanjadi seperti ini. Aku sudah berhasil menjadi pemain   biola ternama. Semua ini berkat Kakek. Aku tidak akan pernah melupakan   jasa kakek. Hanya inilah yang bisa kulakukan untuk Kakek. Semoga Kakek   bahagia di sana     melihat ini.
            Aku pun menanam benih pohon ceri  di  sebelah makam Kakek. Aku berharap pohon ini akan selalu mengingatkan   Kakek akan aku dan begitu pula sebaliknya. Pohon ceri ini akan menjadi   kenang-kenangan dariku, Ceri.
***
No comments:
Post a Comment