Sejujurnya, setiap aku menyuruhmu untuk tidur, ada kesenangan
sesaat ketika aku tahu kamu masih akan menulis sesuatu untukku. Ada harapan kecil bahwa kamu akan terus mengelak dan mengulur waktu
tidurmu.
Setiap detik yang berlalu saat kamu akan datang ke rumahku, andai
kamu bisa merasakan detak tak beraturan ini. Lihatlah setiap regangan otot
di ujung bibir ini selalu membentuk senyuman di setiap langkah dan
gerak yang kamu ambil.
Pertanyaan, galau mbak lihat kaca terus, seharusnya tidak perlu
kamu tanyakan lagi. Aku hanya.....tidak mau melihat sepasang mata yang
telah membuatku sebegini jatuh. Dua buah bintang yang selalu bisa
memainkan roller-coaster di balik jantungku.
Sentuhan kecil yang seringnya terjadi dengan tidak disengaja itu,
memberikan bekas tersendiri pada sebuah ingatan. Yang entah bagaimana
kerjanya, mampu mengalirkan darah dari jantung menuju kedua pipi,
mengharuskanku menutupi rona merah yang muncul tanpa permisi kepadaku.
Yang terakhir, senyum dan tawa itu, adalah alasan mengapa aku
masih berdiri di sampingmu, alasan setiap binar pada mataku, dan alasan
setiap nafas yang kutarik, kutahan dan kulepaskan.
Seandainya kamu bisa membaca pikiranku, aku tak perlu bersusah
payah menjelaskan semua ini.
Tapi menurutku ini seni dari menuangkan isi
hati dan pikiran itu sendiri, pada sebuah tulisan.
I was about half in love with him by the time we sat
down. That's the thing about boys. Every time they do something good... you fall half in love with them, and then you never know where
the hell you are.
-J. D. Salinger (with edited)